HAK DAN KEKAYAAN INTELEKTUAL PENEGAKAN
HUKUM MERK
Merek
(trademark) sebagai Hak Kekayaan Intelektual (HKI) pada dasarnya adalah tanda
untuk mengidentifikasikan asal barang dan jasa (an indication of origin) dari
suatu perusahaan dengan barang dan/ atau jasa perusahaan lain. Merek merupakan
ujung tombak perdagangan barang dan jasa. Melalui merek, pengusaha dapat
menjaga dan memberikan jaminan akan kualitas (a guarantee of quality) barang dan/
atau jasa yang dihasilkan dan mencegah tindakan persaingan (konkurensi) yang
tidak jujur dari pengusaha lain yang beritikad buruk yang bermaksud membonceng
reputasinya. Merek sebagai sarana pemasaran dan periklanan ( a marketing and
advertising device) memberikan suatu tingkat informasi tertentu kepada konsumen
mengenai barang dan/ atau jasa yang dihasilkan pengusaha. Lebih-lebih dengan
perkembangan periklanan baik nasional maupun internasional dewasa ini dan dalam
rangka pendistribusian barang dan jasa membuat merek semakin tinggi nilainya.
Merek yang didukung dengan media periklanan membuat pengusaha memiliki
kemampuan untuk menstimulasi permintaan konsumen sekaligus mempertahankan
loyalitas konsumen atas produk barang dan/ atau jasa yang dihasilkannya.
Bentuk-bentuk pelanggaran merek secara umum yaitu berupa pemalsuan (counterfeit) dan pembajakan (piracy). Pelanggaran tersebuttidak hanya merugikan si pemilik merek yang sah saja, akan tetapi juga dapat merugikan kepentingan konsumen yang mungkin membeli produk berdasarkan pertimbangan kualitas atau harapan tertentu yang diwakili oleh merek, namun ternyata memperoleh barang dengan merek palsu atau merek bajakan. Selain itu imbas dari hal tersebut juga dirasakan oleh pihak pemerintah yang seharusnya memperoleh pemasukan berupa pajak yang dapat dikutip pada produk yang asli.
Dengan diberikannya hak dan kewenangan kepada pemegang hak merek untuk menggugat secara perdata maupun menuntut secara pidana terhadap pihak pelanggar, diharapkan pelanggaran terhadap merek paling tidak berkurang jumlahnya. Namun dalam penegakan hukum di lapangan, khususnya yang terkait dengan tuntutan pidana, terdapat kendala penerapan delik aduan (klach delik) sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 (selanjutnya disingkat UU No.15/2001) Tentang Merek. Penerapan delik aduan (klach delich) dalam beberapa kasus sangat bertolak belakang dengan prinsip keadilan yang ingin ditegakkan. Hal ini mengingat pada kenyataannya masih banyak masyarakat yang takut untuk berurusan dengan hukum. Pemilik merek yang sah, sering kali tidak berkeinginan untuk membuat pengaduan atas pelanggaran mereknya, bahkan seringkali mereka menarik pengaduannya dengan berbagai pertimbangan. Tentunya hal terakhir ini berimbas pada konsumen yang mengharapkan produk dengan merek asli sesuai dengan nilai pengorbanan sejumlah tertentu uang yang telah dikeluarkannya yang seharusnya dapat mengandalkan kualitas merek yang dibangun oleh merek yang sah yang dilindungi secara benar.
Perlindungan hukum yang memadai bagi banyak pihak merupakan amanat Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights Including Trade in Counterfeit Goods-TRIPS (Persetujuan Aspek-Aspek Dagang yang Terkait dengan Hak Kekayaan Intelektual (HKI), Termasuk Perdagangan Barang-Barang Palsu) yang merupakan salah satu agenda Agreement on Establishing World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Dunia) yang telah disahkan Indonesia melalui UU No. 7/ 1994.
Hak merek diperoleh melalui pendaftaran. Inilah yang disebut stelsel konstitutif atau first to file system. Pemohon pertama yang mengajukan pendaftaran dengan itikad baik (goodfaithi fe goede trove) adalah pihak yang berhak atas merek. Untuk keperluan pendaftaran merek harus dipenuhi persyaratan formil dan materiil. Persyaratan formil terkait dengan persyaratan administrasi, sedangkan persyaratan materiil terkait dengan persyaratan daya pembeda (distinctiveness).
Dalam UU No. 15/ 2001 Pasal 1 sub 1 ditentukan bahwa "Merek adalah tanda berupa gambar, nama, kata, huruf, angkaangka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsurtersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam perdagangan barang dan jasa. Hal terpenting dari suatu merek bahwa setiap tanda yang digunakan sebagai merek memiliki kemampuan untuk membedakan (capable of distinguishing) atau memiliki daya penentu (indi vidua lise ring) 1 barang atau jasa yang satu dengan lainnya. Merek pada umumnya diterakan pada pembungkus atau etiketnya, jika tidak mungkin diterakan pada produk barangnya.
Merek tidak dapat didaftarkan jika bertentangan dengan moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum, termasuk jika penggunaan tanda tersebut dapat menyinggung perasaan, kesopanan, ketenteraman, atau keagamaan dari khalayak umum atau dari golongan masyarakat tertentu, contoh merek ini adalah jika suatu merek menampilkan hal yang bertentangan dengan agama atau menyerupai nama Allah atau Rasulnya.
Merek juga tidak dapat didaftarkan jika tidak memiliki daya pembeda atau daya pembeda yang seharusnya menjadi penentu sangat lemah, contohnya, Tanda dianggap tidak memiliki daya pembeda apabila tanda tersebut terlalu sederhana seperti satu tanda garis atau satu tanda titik, ataupun terlalu rumit sehingga tidak jelas. Merek jugs tidak dapat didaftarkan jika menyangkut tanda-tanda yang sudah menjadi milik umum, contoh, tanda tengkorak di atas dua tulang yang bersilang, yang secara umum telah diketahui sebagai tanda bahaya. Tanda seperti itu adalah tanda yang bersifat umum dan telah menjadi milik umum. Oleh karena itu, tanda itu tidak dapat digunakan sebagai Merek.
Pendaftaran suatu merek berdasarkan Undang-undang No.15 Tahun 2001 pada dasarnya apabila dicermati menganut "Stelsel Konstitutif" yakni hak atas merek dilindungi penggunaannya apabila telah didaftarkan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, kalau dapat disimpulkan dari Pasal 3 UUNo.15/2001 yang menyatakan :
Hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam daftar umum merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.
Penggunaan hak atas merek dalam jangka waktu tertentu berdasarkan rumusan Pasal 3 UU No.15/2001, jelas merupakan wujud dari perlindungan hak atas merek tersebut dalam penggunaannya. Dimana jangka waktu tertentu dimaksud adalah selama 10 (sepuluh) tahun sesuai ketentuan Pasal 28 UUNo.15 /2001 yang menyatakan bahwa :"Merek terdaftar mendapat perlindungan hukum untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal penekanan dan jangka waktu perlindungan itu dapat diperpanjang". Perlindungan hukum terhadap merek terdaftar merupakan konsekwensi yuridis dan logic, sebagai wujud penghormatan dan penghargaan terhadap upaya-upaya yang telah dilakukan berkaitan dengan timbulnya ide pemikiran yang konstruktif, karena hal ini menyangkut stabilitas bidang usaha dan pertumbuhan ekonomi secara lugs dalam tatanan negara hukum.
Berdasarkan Hak Ekslusifnya, Pemilik merek akan dilindungi dari tindak penyalahgunaan pemakaian merek oleh pihak lain secara tanpa hak. UUNo.15/2001 tentang Merek telah cukup menyediakan upaya-upaya pemulihan yang diatur dari Pasal 76 sampai dengan Pasal 98. Pasal 76 sampai dengan 84 UU No.15/2001 mengatur gugatan atas pelanggaran merek berupa gugatan ganti rugi, dan/atau penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan Merek tersebut. UU No.15/2001 pada Pasal 90 sampai dengan Pasal 95, telah mengatur delik aduan berdasarkan rumusan pasal diatas dalam pelaksanaannya justru belum mencerminkan adanya rasa keadilan yang d i dam bakan masyarakat maupun pemegang hak atas merek itu sendiri te rhadap kepastian hukumnya (Rechtszeke uheid), karena secara sederhana delik aduan itu sendiri mempunyaipengetan suatu tindakan pidana dapat dikenakan sanksi pidana apabila terlebih dahulu ada yang melaporkan atau mengadukan kepada penyidik.
Pengenaan delik aduan secara normatif pada hakekatnya telah bertentangan dengan asas legalitas yang termuat dalam Pasal 1 ayat 1 KUHPidana yang menyatakan bahwa : "Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan". Pengertian dari rumusan pasal diatas mengandung maksud dan tujuan bahwa ketentuan pidana iru harus lebih dahulu ada dari pembuatan itu, dengan perkataan lain, ketentuan pidana itu harus sudah berlaku ketika perbuatan itu dilakukan. Oleh karena itu ketentuan tersebuttidak berlaku surut, balk mengenai ketetapan dapat dipidana maupun sansksinya. Dengan demikian nampak bahwa delik aduan (klachdelicten) sangat bertentangan dengan asas legalitas, sehingga apabila melihat dari unsur kerugian yang ditimbulkan cukup besar, maka sepatutnyalah UUNo.15/2001 bukan delik aduan yang diterapkan akan tetapi delik biasa, walaupun memang nampak bahwa pembentuk Undang-undang mengklasifikasikan. Unsur kejahatan dan pelanggaran hakatas merek sebagai hal yang bersifat khusus berdasarkan asas "lexspecialis derogat lexgeneralis", yakni aturan yang bersffat khusus dapat mengesampingkan aturan yang bersifat umum. Pads sisi lain dalam Surat penjelasan (Memorie van talichting) dari rancangan KUHP Belanda disebutkan sebagai satu-satunya alasan untukmenentukan delikaduan (klachtdelict) ialah, bahwadalam tindak-tindak pidana tertentu ini kepentingan khusus dari si korban akan lebih dirugikan dengan penuntutan daripada kepentingan umum dengan tidak diadakan penuntutan. Penentuan penuntututan berdasarkan deik aduan adalah tidak lepas dari konsep tentang pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh seseorang adalah untuk menentukan kesalahan dari tindak pidana yang is lakukan itu.
Bentuk-bentuk pelanggaran merek secara umum yaitu berupa pemalsuan (counterfeit) dan pembajakan (piracy). Pelanggaran tersebuttidak hanya merugikan si pemilik merek yang sah saja, akan tetapi juga dapat merugikan kepentingan konsumen yang mungkin membeli produk berdasarkan pertimbangan kualitas atau harapan tertentu yang diwakili oleh merek, namun ternyata memperoleh barang dengan merek palsu atau merek bajakan. Selain itu imbas dari hal tersebut juga dirasakan oleh pihak pemerintah yang seharusnya memperoleh pemasukan berupa pajak yang dapat dikutip pada produk yang asli.
Dengan diberikannya hak dan kewenangan kepada pemegang hak merek untuk menggugat secara perdata maupun menuntut secara pidana terhadap pihak pelanggar, diharapkan pelanggaran terhadap merek paling tidak berkurang jumlahnya. Namun dalam penegakan hukum di lapangan, khususnya yang terkait dengan tuntutan pidana, terdapat kendala penerapan delik aduan (klach delik) sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 (selanjutnya disingkat UU No.15/2001) Tentang Merek. Penerapan delik aduan (klach delich) dalam beberapa kasus sangat bertolak belakang dengan prinsip keadilan yang ingin ditegakkan. Hal ini mengingat pada kenyataannya masih banyak masyarakat yang takut untuk berurusan dengan hukum. Pemilik merek yang sah, sering kali tidak berkeinginan untuk membuat pengaduan atas pelanggaran mereknya, bahkan seringkali mereka menarik pengaduannya dengan berbagai pertimbangan. Tentunya hal terakhir ini berimbas pada konsumen yang mengharapkan produk dengan merek asli sesuai dengan nilai pengorbanan sejumlah tertentu uang yang telah dikeluarkannya yang seharusnya dapat mengandalkan kualitas merek yang dibangun oleh merek yang sah yang dilindungi secara benar.
Perlindungan hukum yang memadai bagi banyak pihak merupakan amanat Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights Including Trade in Counterfeit Goods-TRIPS (Persetujuan Aspek-Aspek Dagang yang Terkait dengan Hak Kekayaan Intelektual (HKI), Termasuk Perdagangan Barang-Barang Palsu) yang merupakan salah satu agenda Agreement on Establishing World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Dunia) yang telah disahkan Indonesia melalui UU No. 7/ 1994.
Hak merek diperoleh melalui pendaftaran. Inilah yang disebut stelsel konstitutif atau first to file system. Pemohon pertama yang mengajukan pendaftaran dengan itikad baik (goodfaithi fe goede trove) adalah pihak yang berhak atas merek. Untuk keperluan pendaftaran merek harus dipenuhi persyaratan formil dan materiil. Persyaratan formil terkait dengan persyaratan administrasi, sedangkan persyaratan materiil terkait dengan persyaratan daya pembeda (distinctiveness).
Dalam UU No. 15/ 2001 Pasal 1 sub 1 ditentukan bahwa "Merek adalah tanda berupa gambar, nama, kata, huruf, angkaangka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsurtersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam perdagangan barang dan jasa. Hal terpenting dari suatu merek bahwa setiap tanda yang digunakan sebagai merek memiliki kemampuan untuk membedakan (capable of distinguishing) atau memiliki daya penentu (indi vidua lise ring) 1 barang atau jasa yang satu dengan lainnya. Merek pada umumnya diterakan pada pembungkus atau etiketnya, jika tidak mungkin diterakan pada produk barangnya.
Merek tidak dapat didaftarkan jika bertentangan dengan moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum, termasuk jika penggunaan tanda tersebut dapat menyinggung perasaan, kesopanan, ketenteraman, atau keagamaan dari khalayak umum atau dari golongan masyarakat tertentu, contoh merek ini adalah jika suatu merek menampilkan hal yang bertentangan dengan agama atau menyerupai nama Allah atau Rasulnya.
Merek juga tidak dapat didaftarkan jika tidak memiliki daya pembeda atau daya pembeda yang seharusnya menjadi penentu sangat lemah, contohnya, Tanda dianggap tidak memiliki daya pembeda apabila tanda tersebut terlalu sederhana seperti satu tanda garis atau satu tanda titik, ataupun terlalu rumit sehingga tidak jelas. Merek jugs tidak dapat didaftarkan jika menyangkut tanda-tanda yang sudah menjadi milik umum, contoh, tanda tengkorak di atas dua tulang yang bersilang, yang secara umum telah diketahui sebagai tanda bahaya. Tanda seperti itu adalah tanda yang bersifat umum dan telah menjadi milik umum. Oleh karena itu, tanda itu tidak dapat digunakan sebagai Merek.
Pendaftaran suatu merek berdasarkan Undang-undang No.15 Tahun 2001 pada dasarnya apabila dicermati menganut "Stelsel Konstitutif" yakni hak atas merek dilindungi penggunaannya apabila telah didaftarkan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, kalau dapat disimpulkan dari Pasal 3 UUNo.15/2001 yang menyatakan :
Hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam daftar umum merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.
Penggunaan hak atas merek dalam jangka waktu tertentu berdasarkan rumusan Pasal 3 UU No.15/2001, jelas merupakan wujud dari perlindungan hak atas merek tersebut dalam penggunaannya. Dimana jangka waktu tertentu dimaksud adalah selama 10 (sepuluh) tahun sesuai ketentuan Pasal 28 UUNo.15 /2001 yang menyatakan bahwa :"Merek terdaftar mendapat perlindungan hukum untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal penekanan dan jangka waktu perlindungan itu dapat diperpanjang". Perlindungan hukum terhadap merek terdaftar merupakan konsekwensi yuridis dan logic, sebagai wujud penghormatan dan penghargaan terhadap upaya-upaya yang telah dilakukan berkaitan dengan timbulnya ide pemikiran yang konstruktif, karena hal ini menyangkut stabilitas bidang usaha dan pertumbuhan ekonomi secara lugs dalam tatanan negara hukum.
Berdasarkan Hak Ekslusifnya, Pemilik merek akan dilindungi dari tindak penyalahgunaan pemakaian merek oleh pihak lain secara tanpa hak. UUNo.15/2001 tentang Merek telah cukup menyediakan upaya-upaya pemulihan yang diatur dari Pasal 76 sampai dengan Pasal 98. Pasal 76 sampai dengan 84 UU No.15/2001 mengatur gugatan atas pelanggaran merek berupa gugatan ganti rugi, dan/atau penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan Merek tersebut. UU No.15/2001 pada Pasal 90 sampai dengan Pasal 95, telah mengatur delik aduan berdasarkan rumusan pasal diatas dalam pelaksanaannya justru belum mencerminkan adanya rasa keadilan yang d i dam bakan masyarakat maupun pemegang hak atas merek itu sendiri te rhadap kepastian hukumnya (Rechtszeke uheid), karena secara sederhana delik aduan itu sendiri mempunyaipengetan suatu tindakan pidana dapat dikenakan sanksi pidana apabila terlebih dahulu ada yang melaporkan atau mengadukan kepada penyidik.
Pengenaan delik aduan secara normatif pada hakekatnya telah bertentangan dengan asas legalitas yang termuat dalam Pasal 1 ayat 1 KUHPidana yang menyatakan bahwa : "Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan". Pengertian dari rumusan pasal diatas mengandung maksud dan tujuan bahwa ketentuan pidana iru harus lebih dahulu ada dari pembuatan itu, dengan perkataan lain, ketentuan pidana itu harus sudah berlaku ketika perbuatan itu dilakukan. Oleh karena itu ketentuan tersebuttidak berlaku surut, balk mengenai ketetapan dapat dipidana maupun sansksinya. Dengan demikian nampak bahwa delik aduan (klachdelicten) sangat bertentangan dengan asas legalitas, sehingga apabila melihat dari unsur kerugian yang ditimbulkan cukup besar, maka sepatutnyalah UUNo.15/2001 bukan delik aduan yang diterapkan akan tetapi delik biasa, walaupun memang nampak bahwa pembentuk Undang-undang mengklasifikasikan. Unsur kejahatan dan pelanggaran hakatas merek sebagai hal yang bersifat khusus berdasarkan asas "lexspecialis derogat lexgeneralis", yakni aturan yang bersffat khusus dapat mengesampingkan aturan yang bersifat umum. Pads sisi lain dalam Surat penjelasan (Memorie van talichting) dari rancangan KUHP Belanda disebutkan sebagai satu-satunya alasan untukmenentukan delikaduan (klachtdelict) ialah, bahwadalam tindak-tindak pidana tertentu ini kepentingan khusus dari si korban akan lebih dirugikan dengan penuntutan daripada kepentingan umum dengan tidak diadakan penuntutan. Penentuan penuntututan berdasarkan deik aduan adalah tidak lepas dari konsep tentang pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh seseorang adalah untuk menentukan kesalahan dari tindak pidana yang is lakukan itu.
Sumber:http://www.polres-pasuruan.com/detail.html?act=artikel&idart=2judul=Hak%20dan%20Kekayaan%20Intelektual%20:%20Penegakan%20Hukum%20Merk
No comments:
Post a Comment